Indonesia begitu kental dengan warisan budaya, sebut saja dari rumah, tari-tarian, pakaian adat sampai makanan sangat kaya ragamnya. Sayangnya, kekayaan ini begitu mudahnya terlupa karena sentuhan modernitas dan rutinitas pekerjaan. Tergugah untuk mengenal lebih dalam kekayaan bangsa yang bergelar zamrud khatulistiwa ini? Simaklah salah satu catatan perjalanan Arsitek Lucia Harri Widiastuti tentang rumah Huma Betang, pusat kehidupan Suku Dayak, Kalimantan.

Ketika pesawat landing dengan cukup baik di bandara Tjilik Riwut, akhirnya saya diberi kesempatan untuk menginjakan kaki di tanah Borneo, tanah khatulistiwa, tanah Dayak. Walau sudah tengah malam, sekitar setengah dua belas malam ditambah tidak adanya penerangan jalan, saya sedikit melihat bahwa disana ada rawa gambut, semak belukar, yang mungkin saja mudah terbakar atau dibakar. Benar-benar khatulistiwa, dan benar-benar nyamuk.
Setelah dua hari berada di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Katingan, saya baru bisa berbincang dengan penduduk lokal “Kalimantan adalah Dayak, Dayak adalah Kalimantan,” kata seorang perempuan suku Dayak yang terkenal dengan tatonya. Bahasa yang mereka gunakan susah saya cerna. Untung ada pak Wigo, penerjemah yang selalu mengartikan dalam bahasa Indonesia.
Ketika saya berharap akan melihat rumah tradisional suku Dayak, ternyata saya salah karena satupun tak tampak. Entah karena punah atau memang bukan wilayah pemukiman suku Dayak. Yang ada hanyalah rumah-rumah panggung gaya melayu dengan tambahan ornamen tombak silang di atapnya, lambang Kalimantan.
Tak ingin kecewa, saya mencoba menuangkan tentang arsitektur tradisional suku Dayak. Arsitektur tradisional adalah arsitektur asli suatu daerah yang sudah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang, arsitektur yang kuat dengan adat, tradisi, pola hidup, budaya, alam, serta ideologi lokal. Sifatnya, tidak boleh di ganggu gugat oleh apapun. Kadang, manusia saja yang tidak tahu diri dengan mengubahnya. Tengkorak manusia yang dipajang pada Uma Mentawai sama nilanya dengan ukiran Huma Panjang. Masyarakat membangunnya bergotong royong tanpa ada campur tangan tenaga ahli. Rakyat suku itulah yang disebut sang ahli.
Dayak, sebagai salah satu suku tertua Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri bagi saya. Arsitektur tradisional Dayak dikenal dengan Huma Betang, atau biasa disebut rumah panjang, atau Lamin. Huma Betang bisa dijumpai di seluruh penjuru Kalimantan, terlebih di daerah hulu sungai, tempat suku Dayak bermukim. Sungai-sungai di Kalimantan biasanya lebar dan dalam. Mereka menggunakan sampan yang siap dikayuh untuk berladang dan beraktivitas lainnya.
Huma Betang, bisa mencapai panjang 150 meter, lebar 30 meter, dan tinggi 3 meter. Ruangnya terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, ruang utama rumah; ruang yang menghubungkan manusia dengan alam surgawi. Kedua, ruang bunyi gong; ruang yang menghubungkan manusia dengan penghuni alam surgawi. Ketiga, ruang ragawi yang tidak kelihatan, atau ruang surgawi.
Rumah ini merupakan rumah panjang, dengan material kayu sebagai material utama sudah sejak lama diketahui bahwa kayu cocok dengan iklim Indonesia yang tropis. Tanah rawan gempa sudah mereka persiapkan dengan kayu-kayu yang tidak terpaku, hanya terkait, bahkan tidak tertanam. Nenek moyang kita memang pandai.
Tinggal di tepian sungai yang kadang kala terlanda banjir, menjadi alasan rumah panjang itu rumah panggung. Selain itu, rumah panggung juga berfungsi untuk menghindari dari ancaman binatang buas. Bahkan ada juga sebagai kandang binatang peliharaan.
Dalam satu Huma Betang biasanya dihuni oleh beberapa keluarga, layaknya suku Dayak yang hidup berkelompok. Rumah disekat sebagai pemisah antar keluarga. Jika penghuni hendak melakukan sesuatu, seluruh penghuni akan bermusyawarah dahulu, untuk menemukan sebuah kesepekatan bersama. Maka Huma Betang merupakan jantung dari suku Dayak itu sendiri.
Suku Dayak mempercayai dalam pembangunan Huma Betang, bagian hulu rumah mengarah ke tempat sang surya terbit, dan bagian hilir mengarah ke terbenamnya matahari. Ini menjadi filosofi suku Dayak, mereka meyakini bahwa dalam menjalani hidup dimulai dari sang terbit dan pulang ke rumah menuju sang tenggelam.
Huma Betang hanya memiliki satu pintu dan tangga utama yang dinamakan hejot. Di halaman depan Huma terdapat sebuah balai yang digunakan untuk menjamu tamu atau untuk pertemuan. Di halaman tersebut juga ada sebuah patung berukir atau totem berbentuk manusia disebut sapundu. Sapandu digunakan untuk menancapkan binatang yang hendak dikurbankan saat tiwah. Halaman Huma Betang juga memiliki petahu; sebuah rumah terpisah yang dikhususkan sebagai rumah pemujaan.
Ada pula sejenis gudang bernama tukau di halaman belakang untuk menyimpan alat-alat pertanian, bawong untuk menyimpan senjata, sandung atau pambak sebagai tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal yang telah di tiwah. Sandung bisa ditempatkan di halaman depan atau di belakang.
Selain rumah sebagai jantung kehidupan, Kalimantan identik dengan sungai. Kali ini sungai itu bernama Katingan. Dari hulu ke hilir mencapai 650 km, lebarnya bisa mencapai 65 m, kedalaman 12 m. Tidak seperti halnya masyarakat Jakarta yang mempergunakan sungai sebagai halaman belakang, suku Dayak mengarahkan orientasi tata ruang menuju sungai. Sungai sebagai halaman depan. Maka, yang terlihat adalah sungai bersih berarus deras, dan memiliki fungsi ekonomi, sosial, bahkan budaya.
Sungguh, suatu pengalaman tersendiri menginjak tanah Borneo. Karena masih ada sungai yang mungkin kita tidak tahu bagaimana kembali ke hilir ketika mengayuh menuju hulu.